“PREMAN INSAF KARENA WAS WAS”
Jeremia Situmorang
“Pertama
kali saya belajar mencopet, saya naik bus. Saya lihat ada calon korban saya.
Tapi saya mau mencopet itu kayaknya ada sebuah
yang namanya ketakutan sebenarnya. Takut ketahuan, takut digebukin massa. Tapi
dorongan untuk lakukan itu tetap kuat, akhirnya saya copet juga,” demikian
penuturan Jeremia Situmorang, mengenang pengalaman pertama terjerumus menjadi
seorang preman.
Awalnya
Jeremia mulai belajar mencopet ketika dirinya menyaksikan sekelompok pencopet
di terminal seolah begitu mudah mendapatkan uang. Sembari berjualan koran,
Jeremia muda yang hanya tamat Sekolah Dasar (SD) itu pun nekat mulai beraksi.
Aksi
yang pertama benar-benar sukses. Sehingga memancingnya untuk kembali melakukan
lagi dan lagi. Setiap hasil copet yang diperolehnya bahkan dipergunakan untuk
pergaulan yang buruk, seperti minum-minuman keras dan merokok.
“Lambat
laun pergaulan saya semakin nakal, semakin menyimpang. Saya merasa malu
dipanggil orang nama Jeremia. Saya pikir kog, nama ini kog kayak nama cewek.
Lalu saya ganti nama saya menjadi Robert”.
Selama
15 tahun sudah Jeremia menjadi tukang copet terminal. Namun, baginya hasil
copet yang mereka dapatkan selama ini belum apa-apa. Timbul hasrat yang semakin
jahat dalam dirinya untuk melakukan pencopetan besar-besaran di bus kota.
Waktu
itu, Jeremia dan dua teman lainnya bersiap menjarah salah satu bus ibu kota.
Berbekal senjata tajam di tangannya, Jeremia mulai memaksa satu per satu
penumpang untuk menyerahkan benda-benda berharganya. “Semua penumpang metro
mini itu kami rampok. Cuma modal satu celurit. Kami jambret, semua kami
ambilin”.
Aksi
mereka memang hampir berhasil kala itu. Namun teriakan seorang penumpang
berhasil membuat massa mulai berdatangan dan berupaya menghadang ketiganya.
Malangnya, Jeremia babak belur dihajar oleh massa sehingga mengakibatkan luka
yang cukup parah.
Akibatnya,
Jeremia harus mendekap di sel penjara selama tiga bulan lamanya. “Saya dibawa
ke tahanan polisi, di sel. Selama tiga bulan saya ada di dalam sel, dan waktu
di dalam itu saya nggak ada barang bukti lagi. Dan yang jelas saya bebas
di situ”.
Namun
setelah bebas, tiada penyesalan yang terbersit dalam hatinya. Ia kembali terjun
menjadi preman terminal bersama dengan gank
bentukannya yang diberi nama ‘ANTOGER’ atau Anak Tongkrongan Grogol’. Setiap
hari, mereka memeras dan memaksa dengan kasar para pedagang terminal untuk
mendapatkan sejumlah uang. “Kami berjudi, peras orang lain, dan saya sangat
menikmati kehidupan seperti itu”.
Dan
pada akhirnya, perjalanan kejahatan Jeremia sudah sampai di akhir babak. Tak
lama setelah perampokan terakhirnya di sebuah kios milik seorang wanita,
Jeremia dan komplotannya berhasil dibekuk polisi.
Benarlah
bahwa dalam kondisi sulit dan berat, manusia cenderung akan mengingat Tuhan
yang adalah pribadi yang mampu memberi pertolongan dan kasih. Hal itu pula yang
dialami oleh Jeremia saat dalam proses rekonstruksi kasus yang membelitnya.
Saat itu, dirinya benar-benar was-was akan keselamatannya ketika menyaksikan
bagaimana salah satu dari rekannya tewas di tempat ketika berusaha melarikan
diri.
“Saya
lihat ngeri banget. Ketakutan juga begitu ditembak saya pikir saya
mau dikeg gitu atau gimana? Di situlah saya berdoa. Saya minta sama
Tuhan: ‘Ya Tuhan tolong bebaskan aku dari sini ya Tuhan’. Saya pernah dengar
nama Yesus di situ saya teringat ada satu lagu yang pernah diajarkan guru
sekolah minggu yang pernah saya ikuti”.
Jeremia
mulai membayangkan betapa berat siksaan api neraka saat dirinya mati dan masuk
neraka. “Saya berdoa di situ: Tuhan aku berjanji kalau aku bebas dari sini,
aku akan jadi orang baik-baik, ya Tuhan”.
Pertolongan
Tuhan pun kembali hadir, Jeremia dibebaskan dari hukuman penjara. Hal itu
seolah mimpi dalam hidupnya karena masih diberi kesempatan menikmati kehdiupan
dan bertemu dengan keluarganya. Selepas dari itu, Jeremia mulai menghindar dari
pergaulan buruknya di terminal. Hidupnya mulai difokuskan mengenal Tuhan
melalui firman-Nya dan mulai menghidupi kehidupannya lewat pekerjaan halal.
“Sebebas
saya dari tahanan itu, sampai di rumah saya keingat ‘ini pasti pertolongan
Tuhan’. Saya ingat juga janji saya untuk jadi orang baik-baik. Akhirnya di situ
saya putuskan untuk tidak nongkrong lagi. Saya bisa betah ada di rumah, bersama
dengan keluarga, dengan mama saya, dengan kakak saya. Saya banyak belajar
tentang firman Tuhan, kemudian anugerah Tuhan juga saya mendapatkan pekerjaan
yang baik. Oleh karena bantuan keluarga juga. Walaupun yang saya dapatkan itu
jauh lebih kecil dari yang apa yang saya dapatkan dulu, tapi saya nikmati
hasilnya itu enak, bahagia”.
Melalui
beragam kejadian yang dialami Jeremia, ia mengakui bahwa Tuhan itu benar nyata
masih menolong dan mengasihinya. Sekali pun Jeremia adalah preman dan tukang
copet, namun Tuhan tidak pernah abai dengan kehidupan setiap anak-anaknya.
Tuhan memakai Jeremia, si mantan preman ini sebagai alat untuk membagikan kasih
Tuhan kepada orang lain lewat perubahan hidupnya. Yang lama sudah berlalu,
sesungguhnya yang baru sudah datang.