“Sang PREMAN YANG TAK JERA DIPENJARA
OLEH: Alvis
Kehilangan sosok ayah dan ibu sejak dari kecil membuat
hidup Alvis menjadi tidak karuan. Sejak kecil ia tinggal bersama dengan sang
om. Beranjak dewasa, kehidupan Alvis menjadi bebas dan membentuknya menjadi
preman yang tak sungkan-sungkan menodong, memalak dan menjambret siapapun yang
ia mau.
Alvis adalah sosok yang temperamental, keras dan
emosional. Karena itu, ia tak segan-segan menghajar siapapun yang memancingnya
marah. Hal itu membuat orang-orang di sekitar tempat tinggalnya ketakutan.
Saat melakukan aksinya, Alvis kerap mengancam
korbannya untuk menyerahkan uang dalam jumlah yang ia minta. “Saya minta dengan
ukuran yang saya minta, bukan yang dia kasih. Pada waktu itu saya baru
mendapatkan uang dari hasil-hasil preman itu mendapatkan uang setiap bulannya
dengan gampang,” tutur Alvis.
Berulang kali ia melakukan premanisme, berulang kali
pula Alvis di jebloskan ke penjara. Tetapi hal itu tidak membuatnya jera dan
berubah. Kejahatan Alvis semakin menjadi, ia tak lagi hanya menjadi preman,
tetapi juga menjadi pengedar narkoba, tukang mabuk dan terjerumus dalam dunia
malam.
“Waktu itu saya tinggal di bawah kali jodoh. Nah di
situ saya pertama kali disuruh jual narkoba, yaitu berupa ganja untuk
mencukupin kebutuhan. Karena pada waktu saya jalanin itu, saya orang yang happy
(bahagia,red), maksudnya saya suka pesta pora, saya suka main perempuan, saya ngabisin
duit beli narkoba. Pokoknya senang-senang”.
Sosok Alvis semakin dikenal banyak orang, bukan karena
berperilaku baik tetapi justru karena tindakan kejahatannya.
Sebagai pengedar narkoba yang sukses, Alvis juga dianggap sebagai ancaman bagi
pengedar narkoba lainnya. Berulang kali ia dikeroyok oleh orang yang tak
dikenal dan berulang kali ia harus kalah. Tak terima dengan kelemahan itu,
Alvis berubah menjadi semakin bringas. Ia membalaskan dendam dengan membunuh
orang yang pernah mengeroyoknya.
“Saya nggak pernah punya rasa kasihan, tapi
saya punya rasa bagaimana saya itu harus menang,” terang Alvis.
“Saya dikasih kabar oleh teman saya, Vis yang loe tusuk
itu mati. Trus gimana? Saya anggap remeh. Paling juga dihukum setahun
dua tahun lah. Gampang itu mah”.
Alvis pun harus menanggung perbuatannya. Segerombol
polisi mengegrebek Alvis dan menyeretnya ke penjara. Itu menjadi saat yang
begitu lemah dalam hidup Alvis. Ia merasa tak berarti dan bukan siapa-siapa.
“Di situlah saya merasa protes sama Tuhan. Saya katakan: Tuhan aku pernah
dengar. Dulu aku adalah contoh yang mendengarkan firman Tuhan. Tetapi kenapa
badanku bertato? Kenapa aku sekarang ditembak? Apakah ini orang yang
mendengarkan firman Tuhan? Menyesal banget karena seakan-akan hidup itu
nggak berarti. Kog hidup saya kayak sampah. Saya bilang ke Tuhan: Tuhan kalua
hidup saya nggak berarti cabut saja nyawa saya,” kenang Alvis saat menghadapi
keterpurukan itu.
Penjara adalah tempat dimana Alvis merenungkan kembali
perjalanan hidupnya. Ia merasa kecewa pada keadaan, orang tua dan perbuatannya.
Ia ingin sekali berubah dan menjadi orang normal seperti yang lainnya.
Hingga ia bertemu seseorang yang membawanya ke jalan yang benar. Di dalam
penjara Alvis pelan-pelan berubah dan menata dirinya menjadi pribadi yang baru.
“Jadi yang dulu saya jalanin sebelum saya mengenal
Tuhan, itu hasilnya adalah sampah. Tapi setelah saya mengenal Tuhan, saya
sangat bahagia. Tuhan bentuk saya yang tapinya orang yang tidak berarti menjadi
berarti,” tandas Alvis.
0 komentar:
Posting Komentar