HIDUP
DI JALANAN KARENA DITOLAK KELUARGA”
Oleh: Rio Suhindra
Harapan seorang Rio Suhindra sangat sederhana.
Dia sangat ingin memiliki keluarga yang bisa menerimanya dan mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya.
Namun pada melihat kenyataannya, Rio harus kecewa.
Sejak
berusia empat tahun, Rio tinggal
dengan ayahnya dan ibu tirinya. Meski masih kecil, ibunya tidak segan memukuli
tubuh Rio. Dalam hati kecilnya, Rio sangat merindukan sosok ibu sebenarnya.
Meskipun dia bahkan tidak tahu bagaimana kabar ibu kandungnya. “Saya merasa ini
adalah nasib yang harus dijalani. Saya sangat ingin ketemu ibu kandung saya,
tapi saya tidak tahu keberadaannya,” kata Rio.
Tidak
sekolah, Rio yang memasuki usia remaja memilih untuk bekerja di pabrik plastik.
Kala itu, dia bekerja selama enam hari dalam seminggu dan mendapat upah Rp
54.000,-. Sadar dengan keadaan ekonomi keluarganya, Rio selalu memberikan
penghasilannya untuk keluarga. “Kebutuhan di rumah semua mengharapkan dari
gaji saya. Pada saat itu, papa saya sudah tidak bekerja. Sehingga sama sekali
tidak ada penghasilan dari manapun.”
Meskipun
begitu, Rio tetap mendapat perlakuan kasar dari keluarganya. Sehingga dia
berubah menjadi anak pendiam dan murung saat di dalam rumah. Pelampiasannya
justru ditunjukkan saat dia berada di luar. Rio menunjukkan sikap temperamen,
kasar, dan suka berkelahi. Hingga akhirnya dia terlibat dalam perkelahian antar
pemuda kampung dan memilih bersembunyi ke tempat kerabatnya.
Keadaan
ini membuat Rio semakin ingin tahu tentang keberadaan ibu kandungnya. Berbekal
alamat ibu, Rio nekat untuk pergi sendiri menemui ibunya. “Saya ingin tahu ibu
saya siapa dan bagaimana dia. Kalau bertemu dengannya, harapan saya bisa
bahagia.”
Pencarian
itu membawanya bertemu dengan ibu kandungnya. Meskipun canggung, Rio sangat
senang. Harapannya saat itu adalah dia bisa menemukan sosok ibu yang bisa
menerima dirinya dan membuatnya bahagia.
Tidak lama
harapan itu bertahan, Rio sekali lagi harus kecewa. Ibunya mulai menunjukkan
penolakan terhadap dirinya. Sadar dengan itu, Rio berusaha agar bisa diterima
mama dan keluarga barunya dengan bekerja. “Karena saya tidak disekolahkan, maka
saya mengerjakan apapun. Termasuk menjadi pemulung dan kerja bangunan, yang
penting bisa kasih uang ke mama,” tuturnya.
Akan
tetapi usahanya ini justru membuat ibunya malu dan Rio diusir. Harapannya untuk
diterima oleh keluarga, hancur seketika. “Terang-terangan mama mengusir saya,
saya kaget. Mama yang tadinya saya harapkan bisa membuat saya bahagia ternyata
bukan jawabannya,” ungkapnya.
Kesedihan
ini lantas membuatnya berpikir bahwa tidak ada yang menginginkannya. “Kalau
saya bisa memilih, lebih baik saya jangan dilahirkan.” Rio akhirnya memutuskan
untuk hidup sendiri di jalanan.
Untuk
makan, Rio biasa mengamen dari satu angkutan ke angkutan lainnya. Kehidupan
bebas di jalanan memang didapatkannya, namun tidak lama dirinya melihat
kenyataan yang menakutkan. “Kehidupan di jalanan itu tidak aman. Saya sering
melihat pengamen yang hampir saling membunuh satu sama lain. Aturannya, ‘siapa
kuat dia yang menang’.”
Dalam
ketidakpastiannya, Rio bertemu dengan seorang pria. Berbincang sebentar, pria
tersebut mengatakan bahwa ‘setiap manusia punya masa depan yang indah di dalam
Tuhan’. Tidak terkecuali bagi dia. Mendengar itu, Rio tidak langsung percaya.
“Bagaimana
mungkin saya yang ditolak semua anggota keluarga bisa mengalami masa depan
indah di hadapan Tuhan, masa sih?” Pada kesempatan yang sama, pria tadi
kemudian mengajaknya untuk mengikuti ibadah di tempatnya. Dia juga memberikan
alamat, kalau saja Rio membutuhkan bantuan. Meski ragu, Rio tetap menerima
alamat tersebut dan beranjak pergi.
Pengalaman
hidupnya selama di jalanan terasa makin mencekam. Kekerasan sesama pengamen
semakin sering terlihat. Perasaan bebas yang dulu diharapkannya, berganti
dengan ketakutan. “Saat itu saya merasa hidup saya terlalu sakit. ‘Kenapa saya
harus mengalami penderitaan seperti ini?’ tanya saya pada Tuhan.”
Saat
menemui titik terendah dalam kehidupannya, Rio berdoa agar hidupnya bisa
diubahkan Tuhan. Inilah yang menjadi awal titik balik kehidupannya. Rio
akhirnya memberanikan diri untuk datang ke alamat tersebut dan mengikuti ibadah
di sana.
Perlahan,
kehidupan Rio makin dipulihkan. Perasaan tertolak itu sirna, berganti menjadi
perasaan kasih Tuhan yang memeluknya. Selama berada di sana, Rio pun yakin
bahwa masa depan bukan diciptakan karena takdir, tapi karena perkenanan Tuhan
Yesus sendiri. “Tuhan mengasihi saya. Dia mau saya berubah, sehingga Tuhan bisa
pakai hidup saya.”
Rio
kemudian bersedia untuk melepas pengampunan bagi keluarganya. Ketakutan dan
kebencian yang selama ini disimpannya berubah menjadi sukacita yang meluap dari
dalam hatinya. Dia juga bersyukur dengan dengan pekerjaan tangan Tuhan dalam
kehidupannya.
Saat ini
Rio aktif dalam melayani Tuhan dan berbagi kasih di rehabilitasi pondok
anugerah. Kini hidupnya semakin diberkati dengan kehadiran istri dan seorang
putra. “Lewat hidup saya yang menyakitkan, saya ingin agar orang lain bisa
melihat bahwa saya bisa dipulihkan. Demikian pula dengan hidup Anda, juga bisa
dipulihkan.”
0 komentar:
Posting Komentar